Ini dia, cerpen yang gagal jadi juara :D . Nggak apa-apa, Thomas Alva Edison aja butuh beribu-ribu kali percobaan untuk menghasilkan penemuan yang luar biasa. Apakah itu? Apalagi kalo bukan... Ya benar sekali, bola lampu. Hum mungkin saya akan mencoba lagi, mencobanya lagi, mencobanya lagi, lagi, lagi, dan lagi. Karena kesuksesan itu butuh yang namanya kerja keras dan jangan pernah putus asa jika mengalami kegagalan. Seperti kata Thomas Alva Edison "Sebenarnya saya tidak gagal, tetapi saya menemukan cara yang salah dan suatu saat saya pasti menemukan cara yang benar." Dan itu memang benar, Dia menemukan cara yang benar setelah sekian ribu kali menemukan cara yang salah. So, beranilah mencoba dan jangan takut gagal ;)
Ku Tunnggu Kau di Palestina
“Kenapa aku berbeda?”
“Kenapa
aku selalu dibeda-bedakan?”
“Apa
karena aku memang berbeda?”
Teramat
sering pertanyaan itu hadir untuk menghuni bertahun-tahun dalam benakku. Bukan cuma
sekali atau dua kali pertanyaan itu hadir, berkali-kali, beribu kali, sejak 15
tahun yang lalu.
Aku
hidup dalam sandiwara yang ku buat sendiri. Dengan alur cerita yang ku buat
sendiri. Dengan peran utama yang ku pilih sendiri. Tapi, aku hanya figuran
dalam sandiwara ini. Hidup dengan penuh kebohongan. Dan aku hidup dalam perbedaan.
“Kenapa
cuma 60? Lihat adikmu, dia mendapat 90?” kata Ibuku waktu itu.
Masih
ingat sekali dengan pernyataan Ibuku, ketika nilai ulangan matematikaku selalu
60. Rasanya susah sekali memutar angka 6 menjadi angka 9. Dan kenapa selalu
dikaitkan dengan adikku? Aku adalah aku dan dia adalah dia. Kenapa Ibuku tidak
bisa menerima aku yang seperti ini?
Adikku
seorang gadis yang cantik, pintar, dikagumi banyak orang, disukai banyak orang,
dan selalu menjadi kebanggaan Ayah dan Ibu. Sempurna. Ya, Dia memang sempurna
dimata Ibu. Sedangkan aku? Hanya gadis bodoh dimata Ibu. Ibu selalu memaksa ku
agar bisa seperti adikku, selalu mendapatkan nilai Fisika yang sempurna, yang
selalu mendapatkan tropi penghargaan setiap tahun ditingkat nasional, yang
selalu menjadi andalan disekolahnya, dan bla
bla bla. Aku terkadang jenuh mendengar itu semua. Jenuh.
Sekarang
umurku 21 tahun dan adikku 16 tahun. Aku adalah mahasiswa keperawatan disalah
satu Universitas di kotaku. Adikku adalah siswa SMA, gadis cantik bernama Ara.
Siapa yang tidak mengenali adikku? Anak orang kaya yang pintarnya luar biasa
dan cantiknya luar biasa. Siapa aku?
Tersudut dalam peran figuran dalam sandiwaraku sendiri.
Aku
tidak pernah protes, tidak pernah melawan, tidak pernah menuntut apapun pada
Ibu. Aku selalu diam jika Ibu memarahiku. Aku selalu mendengar ketika Ibu
berbicara. Aku akan berkata “Iya” meskipun sebenarnya aku tidak ingin melakukan
apa yang Ibu inginkan. Tapi, apakah Ibu pernah mendengarku? Sebentar saja. Atau
apakah Ibu pernah mendengar ceritaku? Atau membacakan dongeng sebelum tidur ketika
aku masih berumur 6 tahun? Tidak, sama sekali tidak pernah. Apa karena aku
hanya anak tiri? Ah, entahlah.
Dan
aku terperangkap dalam sandiwara ini. Aku hidup dalam kebohongan. Aku hanya
pura-pura menyukai Ibu. Aku hanya pura-pura menyukai tingkah laku Ibu terhadap
ku, padahal sebenarnya aku membencinya. Sangat membencinya.
Hari
ini tanggal 4 April. Aku benci angka 4. Kerena waktu kecil aku sering terbalik
menulis angka empat. Alasan lain mengapa aku benci angka empat adalah Ibuku pergi disaat aku berumur 4 tahun
bertepatan dengan tanggal 4 April dan Ayah menikah lagi pada tanggal yang sama,
pada tanggal 4 april setelah empat tahun kematian Ibu.
Telah
lama aku tidak ke pusara Ibu. Empat april tahun lalu, aku pernah kesini,
melakukan hal yang sama seperti saat ini. Mengirimkan do’a untuknya dan
lagi-lagi aku tidak bisa diam kalau datang kesini. Aku akan bercerita tentang
banyak hal di pusara Ibu. Menceritakan tentang Ayah yang semakin sibuk dengan
pekerjaannya. Tentang Ibu tiriku yang selalu membandingkan aku dengan adik
tiriku. Tentang adik tiriku yang semakin membuatku iri dan tentang banyak hal.
Rumput
hijau muda menghiasi pusara Ibu. Daun bunga kamboja jatuh berguguran. Angin
lembut sedikit mengganggu rambut hitamku. Tertulis nama Ibu dipusara itu
“Khadijjah binti Hasan.”
Seketika
teringat tentang tujuh belas tahun yang lalu, ketika aku menangis,
memanggil-manggil nama Ibu. “Ayah, kenapa Ibu dibungkus? Ayah, kasih tau pada
mereka, jangan selimuti Ibu dengan kain putih itu. Ayah, kenapa hidung Ibu
disumbat dengan kapas? Ayah, kasih tau mereka, jangan lakukan itu. Ayah, Ibu
mau dibawa kemana? Ayah, kenapa Ibu hanya diam saja ketika aku membangunkannya?
Ayah, kenapa Ibu dikubur? Ayah, jangan lakukan itu. Ayah, tolong kasih tau
mereka, jangan timbun Ibu dengan tanah itu. Ayah...”
“Biarkan
Ibumu istirahat, Sayang,” jawab Ayahku singkat sambil memelukku.
Aku
juga masih ingat sekali, ketika aku berusaha menggali tanah segar di pemakaman
Ibu. “Ibu, Ibu bertahanlah, aku akan menggali tanah ini agar Ibu bisa keluar
dan bangun lagi.” Dan selama beberapa tahun, aku selalu menyalahkan diriku
sendiri. “Andai saja waktu itu, aku bisa menggali tanah itu. Pasti Ibu bisa keluar
dari lubang kecil itu. Dan aku bisa terus bersama Ibu,” ucapku waktu itu. Ah
aku terlalu polos waktu itu. Aku tidak tau bahwa Ibu akan beristirahat untuk
selamanya.
“Ibu,
apa kabar? Aku merindukanmu, Ibu pasti juga merindukanku. Ibu, sekarang umurku
21 tahun. Aku tumbuh seperti gadis normal lainnya. Hanya saja perasaanku
sedikit bermasalah, Bu. Aku benci Ibu tiriku. Dia selalu membandingkan aku
dengan Ara. Aku tidak suka itu, Bu.”
“Bu,
Ayah juga semakin sibuk. Aku jarang melihat Ayah di rumah, kadang sebulan
sekali, dua bulan sekali dan terkadang tidak pulang selama beberapa bulan. Ayah
juga seakan tidak mempedulikanku lagi. Bu, aku merindukan Ayah yang dulu.
Mencium pipiku sebelum tidur. Mematikan lampu kamarku sebelum tidur. Mengajariku
menulis angka empat. Mengajariku membaca. Mengajariku tentang banyak hal. Mengantarkanku
ke sekolah setiap hari. Tapi, Ayah sekarang berubah, Bu.”
“Bu,
nggak terasa udah 17 tahun ya, kita
tidak bertemu. Meskipun 17 tahun tidak bertemu, aku yakin Ibu pasti tidak
pernah lupa dengan wajahku.”
“Bu,
aku ingin memberitahukan rahasia besar pada Ibu. Bu, aku jatuh cinta. Jatuh
cinta pada laki-laki yang luar biasa. Bolehkan Bu?”
“Bu,
aku sayang Ibu. Suatu saat kita akan bertemu kembali.”
Aku
meninggalkan pusara Ibu. Daun bunga kamboja jatuh berguguran dan sedikit
mengganggu penglihatanku. Aku kelilipan. Disaat aku membuka kedua mata, ada
seorang laki-laki dan ditemani dengan dua orang laki-laki yang berumur lebih
muda darinya. Mereka sedang berdoa. Mungkin, pusara itu adalah pusara keluarga
dekat mereka.
Oh
Tuhan, laki-laki itu. Ya, Dia, orang
yang baru saja ku ceritakan pada Ibu. Laki-laki yang ku kagumi. Banyak hal yang
membuat ku mengaguminya. Aku sering sekali melihatnya menjadi imam jika solat
berjamaah di Masjid dekat kampus. Aku juga sering melihat Dia mengisi acara di kampus. Setahuku Dia sering dibicarakan banyak orang di kampus.
Senyum
kecil dan sangat bermakna. Dia
tersenyum padaku. Sikapnya dingin, sedingin kutub utara. Menyebalkan.
“Kakak,
namaku Aisyah. Bolehkah kita berteman?”
“Boleh,
tapi apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Belum.
Tapi aku sering melihat kakak di kampus?”
“Di
kampus?”
“Iya,
kita kan satu kampus Kak. Kakak anak jurnalistikkan?”
“Darimana
Ukhti tahu?”
Aku
diam dengan seribu bahasa. Oh Tuhan, kenapa aku jadi salah tingkah.
“Ya
sudah, nggak usah dibahas. Salam
Ukhuwah ya Ukhti.”
“Hah?”
aku nggak tau mau jawab apa.
Bahasanya terlalu asing bagiku.
“Sampai
jumpa Ukhti. Saya pergi dulu. Assalamu’alaikum.”
Hanya
satu yang membuatku sedikit kesal. Dia tidak
menanyakan siapa namaku. Tapi mengapa Dia
memanggilku dengan sebutan Ukhti? Ah aneh.
***
Mengapa
dunia ini terasa begitu sempit. Kenapa aku harus bertemu lagi dengan kakak itu.
“Kakak,”
ucapku.
“Hum,
Ukhti yang kemaren itu ya?” jawabnya.
“Nama
ku Aisyah, Kak. Bukan Ukhti,” jawab ku sedikit kesal.
“Maaf
Ukhti. Kita bukan muhrim. Jadi, nggak boleh berjabat tangan,” ucapnya sambil
tersenyum.
Oh
Tuhan, betapa malunya diriku. Kenapa ilmu agamaku sangat minim sekali. Masa hal
sekecil itu saja aku tidak tahu. Sejak saat itulah, aku jadi ingin tahu banyak
tentang agama. Aku meminta sahabat lama \ku, namanya Azzahra. Aku meminta Azzahra
untuk mengajariku banyak hal tentang agama. Azzahra mengajariku bagaimana caranya
shalat. Jujur, aku belum pernah shalat selama 21 tahun. Oh Tuhan, aku malu
dihadapan-Mu. Kenapa aku begitu angkuh terhadap-Mu. Telah banyak nikmat yang
Engkau berikan padaku selama 21 tahun ini. Teramat banyak dan tak terhitung.
“Ampuni hamba Ya Allah,” ucapku.
Untung
saja, Azzahra dengan sabar mengajariku. Azzahra memang sahabat yang baik.
Selalu ada dalam suka dan duka. Aku sering berbagi dan menceritakan tentang
masalah hidupku padanya. Teramat sering. Mungkin tidak ada satu cerita yang
terlewatkan dan mungkin tidak ada satu cerita yang belum pernah ku ceritakan
pada Azzahra. Kecuali tentang aku mengagumi Dia.
“Azzahra,
bolehkah aku jujur padamu?”
“Boleh
Aisyah.”
“Azzahra,
Ibu ku meninggal ketika aku berumur 4 tahun. Ayah ku menikah lagi dengan
perempuan lain. Ayahku terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Ayahku seakan tak
peduli dengan ku. Dari kecil, aku
disekolahkan di sekolah kristen. Kata Ayahku, di sekolah kristen itu lebih
berkualitas. Aku tidak tahu, sejarah-sejarah tentang islam. Aku tidak tahu
bagaimana cara shalat, wudhu, dan yang lainnya. Aku buta tentang islam. Azzahra,
apakah Allah marah padaku?”
“Aisyah,
baru saja kita belajar membaca Al-Qur’an. Bukankah kau mengucapkan
‘Bismillaahirrahmaanirrahim’? Kau tau artinya apa? Dengan nama Allah, yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Aisyah, bukankah Allah itu Maha Pengasih?
Bukankah Allah itu Maha Penyayang?”
“Azzahra,
jika seseorang ingin memeluk islam, maka Dia harus mengucapkan dua kalimat
syahadat. Benarkah?”
“Iya
Aisyah. Kita bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah.”
“Bisakah
kau mengajariku, bagaimana cara melafazkannya?”
Azzahra
menggangguk.
“Asyhadu
Allaa ilaa haillallah, wa asyhadu anna muhammadarrasulullah.”
Aku
mengikuti apa yang diucapkan Azzahra tapi nadaku sedikit terbata-bata.
“Azzahra,
apakah aku sekarang seorang muslim?”
Azzahra
memelukku.
“Azzahra, kenapa Kakak itu memanggilku Ukhti?”
Azzahra
langsung tertawa kecil dan aku bingung sendiri.
***
Aku
sekarang merasa benar-benar hidup. Entah apa yang membuatku merasa tenang. Aku
merasa bahwa Allah selalu ada untukku. Hari ini Azzahra mengajakku ikut
pengajian. Aku senang sekali. Ini untuk pertama kalinya bagiku.
“Aisyah,
coba kau pakai ini,” sambil memberikan kain persegi empat yang berwarna biru
muda pada ku.
“Ini
apa?” tanyaku.
“Ini
namanya Kerudung. Kerudung itu adalah kain yang digunakan seorang wanita untuk
menutup kepalanya dan diwajibkan menjulurkan kerudungnya hingga kedada. Sebagai
wanita, diwajibkan untuk menutup aurat-auratnya. Seperti yang dikatakan dalam
Al-Qur’an ‘Dan katakanlah kepada
perempuan-perempuan yang beriman supaya menyekat pandangan mereka (daripada
memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka; dan janganlah mereka
memperlihatkan perhiasan tubuh mereka kecuali yang zahir daripadanya; dan
hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya dengan tudung kepala mereka; dan
janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka melainkan kepada suami mereka,
atau bapa mereka atau bapak mertua mereka atau anak-anak mereka, atau anak-anak
tiri mereka, atau saudara-saudara mereka, atau anak bagi saudara-saudara mereka
yang lelaki, atau anak bagi saudara-saudara mereka yang perempuan, atau
perempuan-perempuan Islam, atau hamba-hamba mereka, atau orang gaji dari
orang-orang lelaki yang telah tua dan tidak berkeinginan kepada perempuan, atau
kanak-kanak yang belum mengerti lagi tentang aurat perempuan; dan janganlah
mereka menghentakkan kaki untuk diketahui orang akan apa yang tersembunyi dari
perhiasan mereka; dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai
orang-orang yang beriman, supaya kamu berjaya’." (Surah An-Nur, ayat
31)
“Tapi
Azzahra, aku tidak tahu bagaimana cara memakainya.”
Azzahra
mengajariku bagaimana cara berhijab. “Azzahra, terimakasih.”
“Aisyah,
untuk pertama kalinya aku melihat kau lebih cantik dari sebelumnya,” ucap
Azzahra.
“Benarkah?”
Azzahra
mengangguk.
“Aisyah,
jangan dengarkan dan jangan hiraukan perkataan negatif dari mereka yang tidak
menyukai penampilanmu.” Itu adalah pesan dari Azzahra.
Ternyata
Azzahra memang benar. Banyak sekali komentar negatif dan positif dari mereka
semua. Termasuk adik tiriku, Ara.
“Mbak, kenapa penampilan Mbak jadi seperti
ini? Mbak terlihat lebih tua sepuluh tahun dengan penampilan seperti itu,” kata
Ara, adik tiriku.
“Yang
penting, Mbak cantik dimata Allah,” jawabku.
***
Hari
ini adalah hari bahagiaku. Hari dimana aku telah menyelesaikan sarjanaku. Tidak
ada wajah yang tidak bahagia, tidak ada wajah yang tidak bangga di gedung besar
ini. Termasuk aku. Tapi disisi lain, aku harus menyimpan segala kesedihanku.
Dihari bahagia ini, aku hanya ditemani Azzahra. Ayah, Ibu, dan Adikku, aku tak
tau rimbanya. Ku pandangi photo Ibuku yang sedang tersenyum manis di dompetku.
“Ibu, lihat aku. Ibu, ingin rasanya ku menangis, ingin rasanya ku berteriak,”
ucapku. Tapi, senyum manis di photo itu seakan-akan menguatkanku.
“Azzahra,
bolehkah aku jujur?”
“Boleh
Aisyah.”
“Azzahra, bolehkah aku menangis?”
“Jangan
sekarang Aisyah. Ini adalah hari bahagiamu. Hanya sekali dalam hidupmu. Ada apa
Aisyah?”
“Azzahra...
Ayahku, Ibuku, Adikku, mereka tidak datang dihari bahagiaku ini. Dan, Kak Abdullah
(Kakak yang aku kagumi sejak dua tahun yang lalu) juga tidak bisa datang. Hari
ini Kak Adul (nama panggilan Kak Abdullah) akan berangkat keluar kota. Katanya
sedang meliput korban bencana banjir disana. Mentang-mentang sudah jadi
reporter TV swasta ternama, Kak Adul seenaknya saja bilang bahwa dia tidak bisa
datang,” cerutuku pada Azzahra.
“Innallaha
ma’asshabirin, sesungguhnya Allah bersama orang yang sabar. Tetap tersenyum Ibu
Perawat,” Aisyah berusaha menghiburku.
***
“Apa?”
“Palestina?”
Azzahra
terkejut ketika mendengar pengakuanku.
“Aisyah,
apakah kau sudah memikirkannya secara matang?”
“Insya
Allah sudah saudaraku.”
“Kau
yakin?”
“Insya
Allah yakin.”
“Jika
itu memang cita-citamu, maka lakukanlah dengan ikhlas. Selamat berjihad
saudaraku,” ucap Azzahra sambil memelukku.
Dalam waktu yang dekat aku akan
berangkat ke Palestina. Aku sudah menyiapkan semuanya untuk berangkat kesana.
Aku belajar bahasa Arab sejak dua tahun yang lalu. Aku punya modal untuk
melakukan interaksi jika telah sampai disana.
Aku telah menghubungi Ayahku berkali-kali.
Tetap saja tanpa jawaban. Akhirnya, aku meninggalkan selembar kertas untuk
Ayah, Ibu tiriku, dan adik tiriku tercinta.
“Assalamu’alaikum.
Ayah, Ibu, dan Adikku tercinta. Ku harap kalian mengerti dengan keputusanku
ini. Aku akan berangkat ke Palestina. Aku menjadi sukarelawan disana. Aku tahu,
Ayah akan marah dengan keputusanku ini. Tapi, ini adalah bagian dari mimpiku. Ayah,
aku sangat merindukan Ayah. Ayah, ketika aku masih kecil, aku sering memaksa
Ayah membacakan dongeng sebelum tidur, mengajak Ayah ke pantai di hari minggu,
bahkan ketika aku ingin berkunjung ke rumah Nenek di kampung, Ayah dengan
senang hati meluangkan waktu Ayah padahal saat itu Ayah punya banyak pekerjaan
yang harus diselesaikan. Bukan hanya itu, aku juga meninta Ayah untuk
membelikan Boneka Beruang berwarna coklat seperti punya Karina, tetangga kita
dulu dan Ayah mengabulkan semua keinginanku. Aku merindukan semua itu, Ayah. Bahkan aku
lupa, kapan terakhir Ayah menceritakan sesuatu padaku. Ayah, aku tau Ayah
sangat sayang padaku. Buktinya, Ayah selalu mentransfer uang Ayah ke rekeningku
setiap bulannya. Tapi, bukan itu yang ku mau. Bukan itu, Ayah. Aku menelpon
Ayah berkali-kali, Ayah tidak menjawab panggilanku. Aku hanya meminta waktu
Ayah beberapa jam saja untuk datang ke acara wisudaku. Ayah, aku sayang Ayah.
Ibu, terimakasih telah
menjadi Ibu yang baru untukku selama 19 tahun. Terimakasih telah menyiapkan
nasi goreng kesukaanku setiap paginya. Ibu, maafkan aku karena nilai matematikaku
selalu 60. Aku tau, Ibu marah karena Ibu sayang. Bu, maafkan aku karena sering membencimu.
Tapi yakinlah, aku sayang padamu. Aku titip Ayah pada Ibu. Jaga Ayah ya Bu.
Untuk adikku yang
selalu bikin aku iri, maafkan Mbak karena tidak bisa menjadi kakak yang baik
untukmu. Maafkan Mbak. Ara ingat kan? Saat pertama kali Ara datang ke rumah
bersama Ibu dan Ayah. Ara memberikan boneka beruang berwarna biru muda pada
Mbak. Bonekanya masih Mbak simpan, Sayang. Sekarang Si Beruang Biru Muda, Mbak
bawa pergi jauh. Suatu saat kita akan ketemu lagi dan mengulang kembali cerita Si
Beruang Biru Muda. Untuk Ara, adikku tercinta, Mbak punya hadiah untukmu.
Hadiahnya di kotak berwarna biru muda di samping lemari rias. Maaf ya Sayang,
Mbak hanya bisa memberikan itu untukmu. Ara suka kan?Kerudung biru mudanya
jangan hanya disimpan ya Sayang. Kapan-kapan coba pake kerudung ya? Pasti lebih
cantik. Adikku, jaga Ibu dan Ayah ya?
Aku pergi dulu. Aku
pasti akan merindukan kalian. Selamat tinggal.”
***
Selamat datang di negeri Palestina.
Selamat datang di negeri hujan granat. Selamat datang pembantaian. Selamat
datang tubuh-tubuh tak bernyawa. Selamat datang penjara langit terbuka. Inilah
penjara terbesar yang pernah ada. Mengerikan.
Aku menikmati hidupku sebagai
sukarelawan disini. Setiap hari aku akan
bertemu dengan adik-adik yang ditinggal pergi oleh orang tuanya. Aku lebih
beruntung jika dibandingkan dengan adik-adik itu. Aku masih sempat menikmati
kasih sayang Ibu walau hanya 4 tahun. Masih sempat melihat wajah Ayahku.
Sedangkan mereka? Mereka tidak tau dimana orang tuanya berada.
Setiap hari aku dan saudara-saudaraku
disini mendapatkan ancaman. Termasuk ancaman kematian. Mati? Apakah aku takut
mati? Tentu saja. Ya Rabbi, jika seandainya aku mati, matikanlah aku dalam
jihadku. Matikan aku dalam khusnul khatimah. Aku merindukan surga Firdaus-Mu.
“Oh
Palestina, aku seperti Israel yang begitu menginginkanmu. Dan Dia seperti Palestina yang berusaha
melawan. Ada pembatas diantara aku dan Dia.
Jalur Gaza yang membatasi kita. Aku menginginkannya, tetapi Dia berusaha melawan perasaanya untuk
tidak pernah mencintaiku. Ada pembatas
antara aku dan Dia. Azzahra,
sahabatku, ya Dia menginginkan
Azzahra bukan aku. Taukah bahwa setiap hari hatiku berperang melawan perasaan
karena mencintaimu. Seperti Israel yang selalu memerangi rakyat Palestina.”
Kenapa
dunia ini terasa begitu sempit. Dan memang benar firman Allah dalam Al-Qur’an
“Kun Fa Yakun.” Terjadi maka terjadilah. Apasih yang tidak mungin bagi Allah.
Dan aku yakin ini bukan mimpi. Saat ini Dia berada di Palestina, tepat di hadapan
ku.
“Aku
tau, kau kesini karena tugasmu. Bukan karena aku,” ucapku.
“Aku
disini karena kau. Karena dua tahun yang lalu kau pernah berkata bahwa kau akan
menungguku di Palestina. Aku sekarang di Palestina, apa yang ingin kau jelaskan
padaku. Aku ingin mendengarkannya langsung darimu.”
Aku
belum sempat menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba ada hujan granat yang menyerang
kami. Kami semua panik dan mencari tempat yang aman. Tapi ada adik kecil yang
berusaha melawan tentara Israel. Adik kecil itu berusaha melempar batu kecil
pada tentara Israel, sambil berkata “Kenapa kau bunuh Ayahku? Kenapa kau bunuh
saudaraku? Kenapa kau culik Ibuku? Kenapa kau membenci kami? Kenapa kau hujani
kami dengan peluru? Kenapa?” Dan tentu saja hal itu membuat tentara Israel
menjadi marah. Tiba-tiba peluru datang menyerbu anak kecil itu. Untung saja pelurunya
meleset. Aku berlari menyelamatkan adik kecil itu, meskipun Kak Adul berusaha
melarangku.
“Tarrrrr...”
satu anak peluru tepat bersarang di dadaku.
“Asiyah
bertahanlah,” ucap Kak Adul.
“Aku
ingin menjelaskan padamu bahwa selama ini yang mengagumimu adalah aku, bukan
Azzahra. Aku ingat waktu itu kau meamanggil ku ‘Ukhti’. Aku tidak tau Ukhti itu
apa. Saking bodohnya aku waktu itu. Aku sempat kesal ketika kau memanggil ku
‘Ukhti’ karena namaku bukan Ukhti tapi Aisyah. Aku baru tahu setelah seminggu
kemudian. Kata Azzahra, Ukhti itu nama panggilan untuk seorang perempuan. Haha
betapa lucu dan bodohnya aku waktu itu. Jujur, aku mengagumimu dan aku mencintaimu
karena Allah. Karena kesolehan dan kebaikanmu. Dan ketahuilah bahwa cintaku
padamu tak melebihi cintaku pada-Nya.”
“Kenapa
kau baru mengatakannya sekarang?”
“Aku
telah berusaha untuk mengatakannya padamu. Tapi sayangnya, aku bukan Siti
Khadijah yang berani mengungkapkan rasa cintanya kepada Rasulullah.”
Nafasku
terasa sesak. Sepertinya malaikat maut telah datang untuk menjemputku.
“Aku
bagai Siti Fatimah yang hanya pernah sekali jatuh cinta, yaitu jatuh cinta pada
Ali Bin Abi Thalib. Sayangnya aku tidak seberuntung Siti Fatimah yang bisa
mendapatkan laki-laki terbaik yang akan membahagiakannya di dunia maupun di
akhirat. Aku hanya pernah jatuh cinta pada ciptaan-Nya hanya sekali dalam
hidupku, yaitu jatuh cinta pada dirimu. Pulanglah setelah tugasmu selesai
disini. Azzahra menunggumu. Sampaikan salam rinduku pada Azzahra. Sampaikan
padanya, terimakasih telah banyak membantuku. Dan sampaikan kepada Ayahku,
bahwa aku merindukannya.”
“La
ila haillallah muhammadarrasulullah,” kalimat terakhir yang ku ucapkan.
Dan
semuanya menjadi gelap.
#Nona yang berangan akan menjadi penulis terkenal