Haulia Dwi Putri

Goresan Pena Kehidupan

MAAF




 MAAF
Bengkulu, 01 Oktober 2015
            Semoga suatu saat, kau akan membaca tulisan usangku ini. Entah kapan. Detik ini, esok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan,  2 tahun lagi, dan sampai waktunya tiba. Sebelum kau membaca tulisan ini, dengarlah aku baik-baik. “Aku mencintaimu, sungguh. Aku menghargaimu. Tak pernah ada niat sedikitpun untuk membuatmu kecewa, hanya saja diluar batasku dan diluar sadarku, aku nyatanya selalu membuatmu kecewa. Entahlah... Aku bingung dengan keadaan ini. Aku yang salah. Aku yang belum bisa memahamimu. Hingga detik  ini, rasa bersalah itu tak  berhenti menghantuiku.”
Tulisan ini ku tuliskan untukmu. Untukmu yang jauh di sana. Untukmu yang ku cintai. Untukmu yang ku rindukan. Untuk hati yang pernah ku tanamkan cinta. Untukmu yang pernah ku titipkan sebuah harapan. Untukmu yang pernah ku tulis sebuah mimpi. Untukmu yang pernah ku lukiskan di masa depanku. Untukmu, hati yang tak sengaja ku sakiti. Untukmu...
            Sungguh. Aku tak punya kosa kata lagi untuk menjelaskan rasa bersalahku padamu. Sungguh, tak ada yang bisa ku ucapkan selain kata “Maaf”. Sungguh bukan maksudku untuk menyakitimu. Bukan maksudku untuk membuatmu kecewa. Maaf karena hingga detik ini aku belum bisa memahamimu. Aku yang bodoh. Aku terlalu bodoh.
Maafkan aku... Maafkan aku... Maafkan aku...
Aku bodoh. Aku bodoh karena belum bisa memahamimu. Aku bodoh karena selalu membuatmu kecewa. Itu di luar batasku. Percayalah, tak pernah ada niat sedikitpun untuk menyakitimu, mengecewakanmu, hanya saja aku tidak mengerti dengan situasi dan keadaan yang menyulitkanku. Aku terlalu cengeng, aku terlalu manja, aku terlalu kekanak-kanakan... aku yang salah. Aku yang salah karena tak pernah mengerti. Aku yang salah. Aku telah berusaha hanya saja itu terjadi lagi dan lagi. Aku butuh kau yang mengontrolku. Aku butuh kau yang mengajariku. Aku butuh kau yang membimbingku ketika aku salah. Aku tidak ingin ada perdebatan, aku tidak ingin ada pertengkeran. Bimbing aku. Kontrol emosiku.
Kau tahu, aku malu. Sungguh aku malu. Aku malu dengan ketidak sempurnaanku. Aku malu akan kekuranganku. Sungguh tidak ada yang bisa kau banggakan dariku. Sungguh tak ada satu pun yang bisa kau ceritakan pada keluargamu dan sahabat-sahabatmu tentang keunggulanku. Sungguh tidak ada. Aku malu.
Bukankah sejak awal aku sudah memperingatkanmu “Jangan terlalu mencintaiku.” Teramat sering ku katakan kalimat itu padamu. Kau tau apa maksudku? Aku takut kau kecewa akan  kekuranganku yang banyak ini. Aku takut mengecewakanmu. Aku tak sesempurna yang kau bayangkan. TIDAK. AKU TIDAK SESEMPURNA ITU.
Hingga akhirnya, aku melakukan kesalahan besar. Aku mencintaimu. Sungguh aku takut kehilanganmu. Sungguh, aku tidak ingin mengakhiri cerita indah ini. Aku telah melakukan kesalahan besar padahal dulu aku telah memperingatkanmu “Jangan terlalu mencintaiku. Jangan berharap banyak padaku”. Dan sekarang apa? Aku yang kini terlalu mencintaimu. Aku yang kini berharap banyak padamu.
Aku menanamkan banyak harapan padamu. Harapku semakin menjadi-jadi. Bahwa disetiap do’aku selalu ke sebut namamu. Selalu ku pinta agar Tuhan mempertemukan kita. Hingga aku lupa bahwa kita akan kembali pada TAKDIR. Takdir yang menentukan akhir cerita dari kisah ini.
Ahh....
Kau tau? Setiap hari aku belajar. Aku belajar memperbaiki diriku. Setiap hari aku berusaha untuk menjadi yang terbaik untukmu. Aku tidak cantik, aku tidak kaya, aku jauh dari kata baik, aku tidak cerdas, apa yang kau banggakan dariku? TIDAK ADA. Aku hanya gadis manja yang suka merengek. Aku hanya gadis manja yang tak bisa menahan air mataku ketika kau marah padaku. Aku hanya gadis manja yang sering membuatmu kualahan dengan sikapku. Aku hanya gadis manja yang sering menambah masalah baru dalam hidupmu. Kau tau bagaimana rasanya menjadi aku yang seperti itu? Aku sedih... Aku sedih karena tidak bisa menjadi yang terbaik untukmu. Aku sedih karena tidak bisa membuatmu bahagia bersamaku.
#Mr. H

Bingung



Bengkulu, 5 September 2015
Di kamar kosku pukul 22.54 WIB

Banyak hal yang membuatku bingung sendiri.  Aku yang bodoh atau aku yang tak mengerti dengan semua ini. Aku telah berusaha semampuku. Aku berusaha untuk bisa mengerti tapi yang ku lakukan hanya membuat masalah baru.
Aku tidak tau harus mengatakannya seperti apa. Aku bingung. Sungguh.
Aku ingin tau apa yang terjadi dengannya. Aku ingin tau keadaannya saat ini. Aku ingin tau keluh kesahnya. Aku ingin tau semuanya. Agar aku bisa memahami semua itu. Agar aku tidak merasa bersalah. Agar dia selalu merasa tenang.
Aku  harus bagaimana? Aku tidak ingin memaksanya untuk menceritakan semuanya padaku. Yang ku inginkan hanyalah membuatnya merasa tenang dengan menceritakan satu per satu apa yang ada di benaknya.
Aku merasa bersalah. Tapi, tidak ada gunanya aku memaki diriku sendiri jika aku tak bisa menemukan solusi.
Aku bingung. Sungguh. Tapi, percuma saja jika aku membuat suasan jadi canggung.
Aku seperti berada di dua arah. Di hadapanku ada singa yang sedang terluka tapi disisi lain ada harimau yang sedang kelaparan. Jalan mana yang harus ku pilih?
Aku tidak punya jawaban. Apa yang harus ku jawab ketika ada yang bertanya “Kenapa?” sedangkan aku tidak tau apa yang telah terjadi. APA YANG HARUS KU JAWAB??? DAN APA YANG HARUS KU LAKUKAN???
Apa aku yang tidak peka???
Bingung. Sungguh.

#Mungkin aku yang terlalu bodoh

Ku Tunggu Kau di Palestina


Ini dia, cerpen yang gagal jadi juara :D . Nggak apa-apa, Thomas Alva Edison aja butuh beribu-ribu kali percobaan untuk menghasilkan penemuan yang luar biasa. Apakah itu? Apalagi kalo bukan... Ya benar sekali, bola lampu. Hum mungkin saya akan mencoba lagi, mencobanya lagi, mencobanya lagi, lagi, lagi, dan lagi. Karena kesuksesan itu butuh yang namanya kerja keras dan jangan pernah putus asa jika mengalami kegagalan. Seperti kata  Thomas Alva Edison "Sebenarnya saya tidak gagal, tetapi saya menemukan cara yang salah dan suatu saat saya pasti menemukan cara yang benar." Dan itu memang benar, Dia menemukan cara  yang benar setelah sekian ribu kali menemukan cara yang salah. So, beranilah mencoba dan jangan takut gagal ;)


Ku Tunnggu Kau di Palestina
            “Kenapa aku berbeda?”
“Kenapa aku selalu dibeda-bedakan?”
“Apa karena aku memang berbeda?”
Teramat sering pertanyaan itu hadir untuk menghuni bertahun-tahun dalam benakku. Bukan cuma sekali atau dua kali pertanyaan itu hadir, berkali-kali, beribu kali, sejak 15 tahun yang lalu.
Aku hidup dalam sandiwara yang ku buat sendiri. Dengan alur cerita yang ku buat sendiri. Dengan peran utama yang ku pilih sendiri. Tapi, aku hanya figuran dalam sandiwara ini. Hidup dengan penuh kebohongan.  Dan aku hidup dalam perbedaan.
“Kenapa cuma 60? Lihat adikmu, dia mendapat 90?” kata Ibuku waktu itu.
Masih ingat sekali dengan pernyataan Ibuku, ketika nilai ulangan matematikaku selalu 60. Rasanya susah sekali memutar angka 6 menjadi angka 9. Dan kenapa selalu dikaitkan dengan adikku? Aku adalah aku dan dia adalah dia. Kenapa Ibuku tidak bisa menerima aku yang seperti ini?
Adikku seorang gadis yang cantik, pintar, dikagumi banyak orang, disukai banyak orang, dan selalu menjadi kebanggaan Ayah dan Ibu. Sempurna. Ya, Dia memang sempurna dimata Ibu. Sedangkan aku? Hanya gadis bodoh dimata Ibu. Ibu selalu memaksa ku agar bisa seperti adikku, selalu mendapatkan nilai Fisika yang sempurna, yang selalu mendapatkan tropi penghargaan setiap tahun ditingkat nasional, yang selalu menjadi andalan disekolahnya, dan bla bla bla. Aku terkadang jenuh mendengar itu semua. Jenuh.
Sekarang umurku 21 tahun dan adikku 16 tahun. Aku adalah mahasiswa keperawatan disalah satu Universitas di kotaku. Adikku adalah siswa SMA, gadis cantik bernama Ara. Siapa yang tidak mengenali adikku? Anak orang kaya yang pintarnya luar biasa dan cantiknya luar  biasa. Siapa aku? Tersudut dalam peran figuran dalam sandiwaraku sendiri.
Aku tidak pernah protes, tidak pernah melawan, tidak pernah menuntut apapun pada Ibu. Aku selalu diam jika Ibu memarahiku. Aku selalu mendengar ketika Ibu berbicara. Aku akan berkata “Iya” meskipun sebenarnya aku tidak ingin melakukan apa yang Ibu inginkan. Tapi, apakah Ibu pernah mendengarku? Sebentar saja. Atau apakah Ibu pernah mendengar ceritaku? Atau membacakan dongeng sebelum tidur ketika aku masih berumur 6 tahun? Tidak, sama sekali tidak pernah. Apa karena aku hanya anak tiri? Ah, entahlah.
Dan aku terperangkap dalam sandiwara ini. Aku hidup dalam kebohongan. Aku hanya pura-pura menyukai Ibu. Aku hanya pura-pura menyukai tingkah laku Ibu terhadap ku, padahal sebenarnya aku membencinya. Sangat membencinya.
Hari ini tanggal 4 April. Aku benci angka 4. Kerena waktu kecil aku sering terbalik menulis angka empat. Alasan lain mengapa aku benci angka empat adalah  Ibuku pergi disaat aku berumur 4 tahun bertepatan dengan tanggal 4 April dan Ayah menikah lagi pada tanggal yang sama, pada tanggal 4 april setelah empat tahun kematian Ibu.
Telah lama aku tidak ke pusara Ibu. Empat april tahun lalu, aku pernah kesini, melakukan hal yang sama seperti saat ini. Mengirimkan do’a untuknya dan lagi-lagi aku tidak bisa diam kalau datang kesini. Aku akan bercerita tentang banyak hal di pusara Ibu. Menceritakan tentang Ayah yang semakin sibuk dengan pekerjaannya. Tentang Ibu tiriku yang selalu membandingkan aku dengan adik tiriku. Tentang adik tiriku yang semakin membuatku iri dan tentang banyak hal.
Rumput hijau muda menghiasi pusara Ibu. Daun bunga kamboja jatuh berguguran. Angin lembut sedikit mengganggu rambut hitamku. Tertulis nama Ibu dipusara itu “Khadijjah binti Hasan.”
Seketika teringat tentang tujuh belas tahun yang lalu, ketika aku menangis, memanggil-manggil nama Ibu. “Ayah, kenapa Ibu dibungkus? Ayah, kasih tau pada mereka, jangan selimuti Ibu dengan kain putih itu. Ayah, kenapa hidung Ibu disumbat dengan kapas? Ayah, kasih tau mereka, jangan lakukan itu. Ayah, Ibu mau dibawa kemana? Ayah, kenapa Ibu hanya diam saja ketika aku membangunkannya? Ayah, kenapa Ibu dikubur? Ayah, jangan lakukan itu. Ayah, tolong kasih tau mereka, jangan timbun Ibu dengan tanah itu. Ayah...”
“Biarkan Ibumu istirahat, Sayang,” jawab Ayahku singkat sambil memelukku.
Aku juga masih ingat sekali, ketika aku berusaha menggali tanah segar di pemakaman Ibu. “Ibu, Ibu bertahanlah, aku akan menggali tanah ini agar Ibu bisa keluar dan bangun lagi.” Dan selama beberapa tahun, aku selalu menyalahkan diriku sendiri. “Andai saja waktu itu, aku bisa menggali tanah itu. Pasti Ibu bisa keluar dari lubang kecil itu. Dan aku bisa terus bersama Ibu,” ucapku waktu itu. Ah aku terlalu polos waktu itu. Aku tidak tau bahwa Ibu akan beristirahat untuk selamanya.
“Ibu, apa kabar? Aku merindukanmu, Ibu pasti juga merindukanku. Ibu, sekarang umurku 21 tahun. Aku tumbuh seperti gadis normal lainnya. Hanya saja perasaanku sedikit bermasalah, Bu. Aku benci Ibu tiriku. Dia selalu membandingkan aku dengan Ara. Aku tidak suka itu, Bu.”
“Bu, Ayah juga semakin sibuk. Aku jarang melihat Ayah di rumah, kadang sebulan sekali, dua bulan sekali dan terkadang tidak pulang selama beberapa bulan. Ayah juga seakan tidak mempedulikanku lagi. Bu, aku merindukan Ayah yang dulu. Mencium pipiku sebelum tidur. Mematikan lampu kamarku sebelum tidur. Mengajariku menulis angka empat. Mengajariku membaca. Mengajariku tentang banyak hal. Mengantarkanku ke sekolah setiap hari. Tapi, Ayah sekarang berubah, Bu.”
“Bu, nggak terasa udah 17 tahun ya, kita tidak bertemu. Meskipun 17 tahun tidak bertemu, aku yakin Ibu pasti tidak pernah lupa dengan wajahku.”
“Bu, aku ingin memberitahukan rahasia besar pada Ibu. Bu, aku jatuh cinta. Jatuh cinta pada laki-laki yang luar biasa. Bolehkan Bu?”
“Bu, aku sayang Ibu. Suatu saat kita akan bertemu kembali.”
Aku meninggalkan pusara Ibu. Daun bunga kamboja jatuh berguguran dan sedikit mengganggu penglihatanku. Aku kelilipan. Disaat aku membuka kedua mata, ada seorang laki-laki dan ditemani dengan dua orang laki-laki yang berumur lebih muda darinya. Mereka sedang berdoa. Mungkin, pusara itu adalah pusara keluarga dekat mereka.
Oh Tuhan, laki-laki itu. Ya, Dia, orang yang baru saja ku ceritakan pada Ibu. Laki-laki yang ku kagumi. Banyak hal yang membuat ku mengaguminya. Aku sering sekali melihatnya menjadi imam jika solat berjamaah di Masjid dekat kampus. Aku juga sering melihat Dia mengisi acara di kampus. Setahuku Dia sering dibicarakan banyak orang di kampus.
Senyum kecil dan sangat bermakna. Dia tersenyum padaku. Sikapnya dingin, sedingin kutub utara. Menyebalkan.
“Kakak, namaku Aisyah. Bolehkah kita berteman?”
“Boleh, tapi apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Belum. Tapi aku sering melihat kakak di kampus?”
“Di kampus?”
“Iya, kita kan satu kampus Kak. Kakak anak jurnalistikkan?”
“Darimana Ukhti tahu?”
Aku diam dengan seribu bahasa. Oh Tuhan, kenapa aku jadi salah tingkah.
“Ya sudah, nggak usah dibahas. Salam Ukhuwah ya Ukhti.”
“Hah?” aku nggak tau mau jawab apa. Bahasanya terlalu asing bagiku.
“Sampai jumpa Ukhti. Saya pergi dulu. Assalamu’alaikum.”
Hanya satu yang membuatku sedikit kesal. Dia tidak menanyakan siapa namaku. Tapi mengapa Dia memanggilku dengan sebutan Ukhti? Ah aneh.
***
Mengapa dunia ini terasa begitu sempit. Kenapa aku harus bertemu lagi dengan kakak itu.
“Kakak,” ucapku.
“Hum, Ukhti yang kemaren itu ya?” jawabnya.
“Nama ku Aisyah, Kak. Bukan Ukhti,” jawab ku sedikit kesal.
“Maaf Ukhti. Kita bukan muhrim. Jadi, nggak boleh berjabat tangan,” ucapnya sambil tersenyum.
Oh Tuhan, betapa malunya diriku. Kenapa ilmu agamaku sangat minim sekali. Masa hal sekecil itu saja aku tidak tahu. Sejak saat itulah, aku jadi ingin tahu banyak tentang agama. Aku meminta sahabat lama \ku, namanya Azzahra. Aku meminta Azzahra untuk mengajariku banyak hal tentang agama. Azzahra mengajariku bagaimana caranya shalat. Jujur, aku belum pernah shalat selama 21 tahun. Oh Tuhan, aku malu dihadapan-Mu. Kenapa aku begitu angkuh terhadap-Mu. Telah banyak nikmat yang Engkau berikan padaku selama 21 tahun ini. Teramat banyak dan tak terhitung. “Ampuni hamba Ya Allah,” ucapku.
Untung saja, Azzahra dengan sabar mengajariku. Azzahra memang sahabat yang baik. Selalu ada dalam suka dan duka. Aku sering berbagi dan menceritakan tentang masalah hidupku padanya. Teramat sering. Mungkin tidak ada satu cerita yang terlewatkan dan mungkin tidak ada satu cerita yang belum pernah ku ceritakan pada Azzahra. Kecuali tentang aku mengagumi Dia.
“Azzahra, bolehkah aku jujur padamu?”
“Boleh Aisyah.”
“Azzahra, Ibu ku meninggal ketika aku berumur 4 tahun. Ayah ku menikah lagi dengan perempuan lain. Ayahku terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Ayahku seakan tak peduli dengan  ku. Dari kecil, aku disekolahkan di sekolah kristen. Kata Ayahku, di sekolah kristen itu lebih berkualitas. Aku tidak tahu, sejarah-sejarah tentang islam. Aku tidak tahu bagaimana cara shalat, wudhu, dan yang lainnya. Aku buta tentang islam. Azzahra, apakah Allah marah padaku?”
“Aisyah, baru saja kita belajar membaca Al-Qur’an. Bukankah kau mengucapkan ‘Bismillaahirrahmaanirrahim’? Kau tau artinya apa? Dengan nama Allah, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Aisyah, bukankah Allah itu Maha Pengasih? Bukankah Allah itu Maha Penyayang?”
“Azzahra, jika seseorang ingin memeluk islam, maka Dia harus mengucapkan dua kalimat syahadat. Benarkah?”
“Iya Aisyah. Kita bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”
“Bisakah kau mengajariku, bagaimana cara melafazkannya?”
Azzahra menggangguk.
“Asyhadu Allaa ilaa haillallah, wa asyhadu anna muhammadarrasulullah.”
Aku mengikuti apa yang diucapkan Azzahra tapi nadaku sedikit terbata-bata.
“Azzahra, apakah aku sekarang seorang muslim?”
Azzahra memelukku.
 “Azzahra, kenapa Kakak itu memanggilku Ukhti?”
Azzahra langsung tertawa kecil dan aku bingung sendiri.
***
Aku sekarang merasa benar-benar hidup. Entah apa yang membuatku merasa tenang. Aku merasa bahwa Allah selalu ada untukku. Hari ini Azzahra mengajakku ikut pengajian. Aku senang sekali. Ini untuk pertama kalinya bagiku.
“Aisyah, coba kau pakai ini,” sambil memberikan kain persegi empat yang berwarna biru muda pada ku.
“Ini apa?” tanyaku.
“Ini namanya Kerudung. Kerudung itu adalah kain yang digunakan seorang wanita untuk menutup kepalanya dan diwajibkan menjulurkan kerudungnya hingga kedada. Sebagai wanita, diwajibkan untuk menutup aurat-auratnya. Seperti yang dikatakan dalam Al-Qur’an ‘Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan yang beriman supaya menyekat pandangan mereka (daripada memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka kecuali yang zahir daripadanya; dan hendaklah mereka menutup belahan leher bajunya dengan tudung kepala mereka; dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasan tubuh mereka melainkan kepada suami mereka, atau bapa mereka atau bapak mertua mereka atau anak-anak mereka, atau anak-anak tiri mereka, atau saudara-saudara mereka, atau anak bagi saudara-saudara mereka yang lelaki, atau anak bagi saudara-saudara mereka yang perempuan, atau perempuan-perempuan Islam, atau hamba-hamba mereka, atau orang gaji dari orang-orang lelaki yang telah tua dan tidak berkeinginan kepada perempuan, atau kanak-kanak yang belum mengerti lagi tentang aurat perempuan; dan janganlah mereka menghentakkan kaki untuk diketahui orang akan apa yang tersembunyi dari perhiasan mereka; dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu berjaya’." (Surah An-Nur, ayat 31)
“Tapi Azzahra, aku tidak tahu bagaimana cara memakainya.”
Azzahra mengajariku bagaimana cara berhijab. “Azzahra, terimakasih.”
“Aisyah, untuk pertama kalinya aku melihat kau lebih cantik dari sebelumnya,” ucap Azzahra.
“Benarkah?”
Azzahra mengangguk.
“Aisyah, jangan dengarkan dan jangan hiraukan perkataan negatif dari mereka yang tidak menyukai penampilanmu.” Itu adalah pesan dari Azzahra.
Ternyata Azzahra memang benar. Banyak sekali komentar negatif dan positif dari mereka semua. Termasuk adik tiriku, Ara.
 “Mbak, kenapa penampilan Mbak jadi seperti ini? Mbak terlihat lebih tua sepuluh tahun dengan penampilan seperti itu,” kata Ara, adik tiriku.
“Yang penting, Mbak cantik dimata Allah,” jawabku.
***
Hari ini adalah hari bahagiaku. Hari dimana aku telah menyelesaikan sarjanaku. Tidak ada wajah yang tidak bahagia, tidak ada wajah yang tidak bangga di gedung besar ini. Termasuk aku. Tapi disisi lain, aku harus menyimpan segala kesedihanku. Dihari bahagia ini, aku hanya ditemani Azzahra. Ayah, Ibu, dan Adikku, aku tak tau rimbanya. Ku pandangi photo Ibuku yang sedang tersenyum manis di dompetku. “Ibu, lihat aku. Ibu, ingin rasanya ku menangis, ingin rasanya ku berteriak,” ucapku. Tapi, senyum manis di photo itu seakan-akan menguatkanku.
“Azzahra, bolehkah aku jujur?”
“Boleh Aisyah.”
“Azzahra,  bolehkah aku menangis?”
“Jangan sekarang Aisyah. Ini adalah hari bahagiamu. Hanya sekali dalam hidupmu. Ada apa Aisyah?”
“Azzahra... Ayahku, Ibuku, Adikku, mereka tidak datang dihari bahagiaku ini. Dan, Kak Abdullah (Kakak yang aku kagumi sejak dua tahun yang lalu) juga tidak bisa datang. Hari ini Kak Adul (nama panggilan Kak Abdullah) akan berangkat keluar kota. Katanya sedang meliput korban bencana banjir disana. Mentang-mentang sudah jadi reporter TV swasta ternama, Kak Adul seenaknya saja bilang bahwa dia tidak bisa datang,” cerutuku pada Azzahra.
“Innallaha ma’asshabirin, sesungguhnya Allah bersama orang yang sabar. Tetap tersenyum Ibu Perawat,” Aisyah berusaha menghiburku.
***
“Apa?”
“Palestina?”
Azzahra terkejut ketika mendengar pengakuanku.
“Aisyah, apakah kau sudah memikirkannya secara matang?”
“Insya Allah sudah saudaraku.”
“Kau yakin?”
“Insya Allah yakin.”
“Jika itu memang cita-citamu, maka lakukanlah dengan ikhlas. Selamat berjihad saudaraku,” ucap Azzahra sambil memelukku.
            Dalam waktu yang dekat aku akan berangkat ke Palestina. Aku sudah menyiapkan semuanya untuk berangkat kesana. Aku belajar bahasa Arab sejak dua tahun yang lalu. Aku punya modal untuk melakukan interaksi jika telah sampai disana.
            Aku telah menghubungi Ayahku berkali-kali. Tetap saja tanpa jawaban. Akhirnya, aku meninggalkan selembar kertas untuk Ayah, Ibu tiriku, dan adik tiriku tercinta.
            “Assalamu’alaikum. Ayah, Ibu, dan Adikku tercinta. Ku harap kalian mengerti dengan keputusanku ini. Aku akan berangkat ke Palestina. Aku menjadi sukarelawan disana. Aku tahu, Ayah akan marah dengan keputusanku ini. Tapi, ini adalah bagian dari mimpiku. Ayah, aku sangat merindukan Ayah. Ayah, ketika aku masih kecil, aku sering memaksa Ayah membacakan dongeng sebelum tidur, mengajak Ayah ke pantai di hari minggu, bahkan ketika aku ingin berkunjung ke rumah Nenek di kampung, Ayah dengan senang hati meluangkan waktu Ayah padahal saat itu Ayah punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Bukan hanya itu, aku juga meninta Ayah untuk membelikan Boneka Beruang berwarna coklat seperti punya Karina, tetangga kita dulu dan Ayah mengabulkan semua keinginanku.  Aku merindukan semua itu, Ayah. Bahkan aku lupa, kapan terakhir Ayah menceritakan sesuatu padaku. Ayah, aku tau Ayah sangat sayang padaku. Buktinya, Ayah selalu mentransfer uang Ayah ke rekeningku setiap bulannya. Tapi, bukan itu yang ku mau. Bukan itu, Ayah. Aku menelpon Ayah berkali-kali, Ayah tidak menjawab panggilanku. Aku hanya meminta waktu Ayah beberapa jam saja untuk datang ke acara wisudaku. Ayah, aku sayang Ayah.
Ibu, terimakasih telah menjadi Ibu yang baru untukku selama 19 tahun. Terimakasih telah menyiapkan nasi goreng kesukaanku setiap paginya. Ibu, maafkan aku karena nilai matematikaku selalu 60. Aku tau, Ibu marah karena Ibu sayang.  Bu, maafkan aku karena sering membencimu. Tapi yakinlah, aku sayang padamu. Aku titip Ayah pada Ibu. Jaga Ayah ya Bu.
Untuk adikku yang selalu bikin aku iri, maafkan Mbak karena tidak bisa menjadi kakak yang baik untukmu. Maafkan Mbak. Ara ingat kan? Saat pertama kali Ara datang ke rumah bersama Ibu dan Ayah. Ara memberikan boneka beruang berwarna biru muda pada Mbak. Bonekanya masih Mbak simpan, Sayang. Sekarang Si Beruang Biru Muda, Mbak bawa pergi jauh. Suatu saat kita akan ketemu lagi dan mengulang kembali cerita Si Beruang Biru Muda. Untuk Ara, adikku tercinta, Mbak punya hadiah untukmu. Hadiahnya di kotak berwarna biru muda di samping lemari rias. Maaf ya Sayang, Mbak hanya bisa memberikan itu untukmu. Ara suka kan?Kerudung biru mudanya jangan hanya disimpan ya Sayang. Kapan-kapan coba pake kerudung ya? Pasti lebih cantik. Adikku, jaga Ibu dan Ayah ya?
Aku pergi dulu. Aku pasti akan merindukan kalian. Selamat tinggal.”
***
            Selamat datang di negeri Palestina. Selamat datang di negeri hujan granat. Selamat datang pembantaian. Selamat datang tubuh-tubuh tak bernyawa. Selamat datang penjara langit terbuka. Inilah penjara terbesar yang pernah ada. Mengerikan.
            Aku menikmati hidupku sebagai sukarelawan disini. Setiap  hari aku akan bertemu dengan adik-adik yang ditinggal pergi oleh orang tuanya. Aku lebih beruntung jika dibandingkan dengan adik-adik itu. Aku masih sempat menikmati kasih sayang Ibu walau hanya 4 tahun. Masih sempat melihat wajah Ayahku. Sedangkan mereka? Mereka tidak tau dimana orang tuanya berada.
            Setiap hari aku dan saudara-saudaraku disini mendapatkan ancaman. Termasuk ancaman kematian. Mati? Apakah aku takut mati? Tentu saja. Ya Rabbi, jika seandainya aku mati, matikanlah aku dalam jihadku. Matikan aku dalam khusnul khatimah. Aku merindukan surga Firdaus-Mu.
“Oh Palestina, aku seperti Israel yang begitu menginginkanmu. Dan Dia seperti Palestina yang berusaha melawan. Ada pembatas diantara aku dan Dia. Jalur Gaza yang membatasi kita. Aku menginginkannya, tetapi Dia berusaha melawan perasaanya untuk tidak pernah mencintaiku.  Ada pembatas antara aku dan Dia. Azzahra, sahabatku, ya Dia menginginkan Azzahra bukan aku. Taukah bahwa setiap hari hatiku berperang melawan perasaan karena mencintaimu. Seperti Israel yang selalu memerangi rakyat Palestina.”
Kenapa dunia ini terasa begitu sempit. Dan memang benar firman Allah dalam Al-Qur’an “Kun Fa Yakun.” Terjadi maka terjadilah. Apasih yang tidak mungin bagi Allah. Dan aku yakin ini bukan mimpi. Saat ini  Dia berada di Palestina, tepat di hadapan ku.
“Aku tau, kau kesini karena tugasmu. Bukan karena aku,” ucapku.
“Aku disini karena kau. Karena dua tahun yang lalu kau pernah berkata bahwa kau akan menungguku di Palestina. Aku sekarang di Palestina, apa yang ingin kau jelaskan padaku. Aku ingin mendengarkannya langsung darimu.”
Aku belum sempat menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba ada hujan granat yang menyerang kami. Kami semua panik dan mencari tempat yang aman. Tapi ada adik kecil yang berusaha melawan tentara Israel. Adik kecil itu berusaha melempar batu kecil pada tentara Israel, sambil berkata “Kenapa kau bunuh Ayahku? Kenapa kau bunuh saudaraku? Kenapa kau culik Ibuku? Kenapa kau membenci kami? Kenapa kau hujani kami dengan peluru? Kenapa?” Dan tentu saja hal itu membuat tentara Israel menjadi marah. Tiba-tiba peluru datang menyerbu anak kecil itu. Untung saja pelurunya meleset. Aku berlari menyelamatkan adik kecil itu, meskipun Kak Adul berusaha melarangku.
“Tarrrrr...” satu anak peluru tepat bersarang di dadaku.
“Asiyah bertahanlah,” ucap Kak Adul.
“Aku ingin menjelaskan padamu bahwa selama ini yang mengagumimu adalah aku, bukan Azzahra. Aku ingat waktu itu kau meamanggil ku ‘Ukhti’. Aku tidak tau Ukhti itu apa. Saking bodohnya aku waktu itu. Aku sempat kesal ketika kau memanggil ku ‘Ukhti’ karena namaku bukan Ukhti tapi Aisyah. Aku baru tahu setelah seminggu kemudian. Kata Azzahra, Ukhti itu nama panggilan untuk seorang perempuan. Haha betapa lucu dan bodohnya aku waktu itu. Jujur, aku mengagumimu dan aku mencintaimu karena Allah. Karena kesolehan dan kebaikanmu. Dan ketahuilah bahwa cintaku padamu tak melebihi cintaku pada-Nya.”
“Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?”
“Aku telah berusaha untuk mengatakannya padamu. Tapi sayangnya, aku bukan Siti Khadijah yang berani mengungkapkan rasa cintanya kepada Rasulullah.”
Nafasku terasa sesak. Sepertinya malaikat maut telah datang untuk menjemputku.
“Aku bagai Siti Fatimah yang hanya pernah sekali jatuh cinta, yaitu jatuh cinta pada Ali Bin Abi Thalib. Sayangnya aku tidak seberuntung Siti Fatimah yang bisa mendapatkan laki-laki terbaik yang akan membahagiakannya di dunia maupun di akhirat. Aku hanya pernah jatuh cinta pada ciptaan-Nya hanya sekali dalam hidupku, yaitu jatuh cinta pada dirimu. Pulanglah setelah tugasmu selesai disini. Azzahra menunggumu. Sampaikan salam rinduku pada Azzahra. Sampaikan padanya, terimakasih telah banyak membantuku. Dan sampaikan kepada Ayahku, bahwa aku merindukannya.”
“La ila haillallah muhammadarrasulullah,” kalimat terakhir yang ku ucapkan.
Dan semuanya menjadi gelap.

#Nona yang berangan akan menjadi penulis terkenal

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Hallo... Perkenalkan, saya Haulia Dwi Putri, konsultan JAFRA Bengkulu. Aku akan membantu kamu menemukan solusi atas permasalahan kulitmu. Silahkan konsultasi dulu sebelum mebeli produk JAFRA yah? Konsultasinya GRATIS. More info : BBM : 7F7EA6CB WA : 087745074419

About

Blogger news

Blogroll

Blogger templates